Welcome To My Blog

Senin, 27 April 2015

Hubungan Kesehatan Mental dan Spiritualitas

Rizka Andhani            17513892
Tugas Softskill

Pengertian Kesehatan
Pengertian sehat menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) adalah suatu kedaan kondisi fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Menurut Undang Undang Kesehatan N0. 23 tahun 1992 tentang kesehatan : Sehat atau kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani) dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup pro-duktif secara sosial dan ekonomis. Ada 3 komponen penting dalam definisi sehat yaitu:
1. Sehat Jasmani.
2. Sehat Mental (pikiran, emosional,dan spiritual).
3. Sehat Sosial (status sosial, kesejahteraan ekonomi, toleransi, menghargai).
Sehat dapat dikatakan sebagai suatu kondisi normal baik secara fisik, emosi, intelektual, spritual dan sosial. Dari pernyataan diatas sudah bisa didapat tentang dimensi sehat, yaitu :
1. Dimensi Emosi: Orang yang sehat secara emosi dapat terlihat dari kestabilan dan kemampuannya mengontrol dan mengekspresikan perasaan seperti marah, sedih atau senang dan tidak ditampilkan secara berlebihan.
2. Dimensi Intelektual: Orang yang sehat secara intelektual yaitu jika seseorang memiliki kecerdasan dalam kategori yang baik mampu melihat realitas. Memiliki nalar yang baik dalam memecahkan masalah atau mengambil keputusan.
3. Dimensi Sosial: Orang sehat secara sosial yaitu mereka yang bisa berinteraksi dan berhubungan baik dengan sekitarnya mampu untuk bekerjasama.
4. Dimensi Fisik dan Mental: Orang yang sehat bila secara fisiologis(fisik) terlihat normal tidak cacat, tidak mudah sakit, tidak kekurangan sesuatu apapun.
5. Dimensi Spiritual: Orang yang sehat secara spiritual dalah mereka yang memiliki suatu kondisi ketenangan jiwa dengan Id mereka. Secara rohani dianggap sehat karena pikirannya jernih tidak melakukan atau bertindak hal-hal yang diluar batas kewajaran sehingga bisa berpikir rasional.
Pengertian Mental Hygiene
Menurut M. Surya (1976) mental hygiene diterjemahkan menjadi hygiene mental atau “ilmu kesehatan mental” dengan pengertian sebagai usaha-usaha yang dilakukan agar tercapai mental yang sehat. Secara etimologis hygiene berasal dari kata hygea yaitu nama seorang dewa dari Yunani kuno yang bertugas mengurus masalah kesehatan manusia di dunia. Istilah lain dari hygiene adalah psiko-higiene dikemukakan oleh Sikun Pribadi. Ia menggunakan istilah mental hygiene karena menurutnya pengertian mental hanya menitik bertakan pada kerohanian manusia, sedangkan istilah psiko-higiene kesatuan jiwa raga yang menunjukan bahwa kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan dengan kesehatan jasmani. Dengan demikian psiko-higiene merupakan kondisi yang sifatnya menyeluruh meliputi jasmani, kebahagiaan, religius dan kehidupan ber-Tuhan.
Karakteristik Mental yang Sehat
1. Terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan penyakit jiwa
Zakiyah Drajat (1975) mengemukakan perbedaan antara gangguan jiwa (neurose) dengan penyakit jiwa (psikose) yaitu:
a.       Yang neurose masih merasakan dan mengetahui kesukarannya sebaliknya yang kena psikose tidak.
b.      Yang neurose, kepribadiannya tidak jauh dari realitas dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya, sedangkan yang kena psikose kepribadiannya dari segala segi (tanggapan, perasaan, emosi) sangat terganggu tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan.
2. Dapat Menyeseuaikan Diri
Penyesuaian diri merupakan proses untuk memperoleh atau memenuhi kebutuhan dan mengatasi stress, konflik serta masalah-masalah tertentu dengan cara tertentu. Seseorang yang dapat menyesuaikan diri adalah orang yng mampu memenuhi kebutuhannya dan dapat mengatasi masalah secara wajar dan tidak merugikan orang lain.
3. Memanfaatkan Potensi Semaksimal Mungkin
Individu yang sehat mentalnya adalah individu yang mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya dalam kegiatan yang positif. Misalnya seperti kegiatan belajar dan bersosialisasi membentuk suatu perkumpulan organisasi dirumah, di sekolahmaupun dilingkungan sekitar.
4. Tercapainya Kebahagiaan Pribadi dan Orang lain
Orang yang sehat mentalnya akan menampilkan respon terhadap situasi yang dihadapinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan memberikan dampak yang positif bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Memiliki prinsip untuk tidak mengorbankan hak orang lain atau tidak mencari keuntungan dan untuk mencapai kebahagiaan bersama.

Hubungan Kesehatan Mental dengan Religius
Manusia adalah makhluk beragama(homo religius) yaitu makhluk yang memiliki keagamaan dan kemampuan untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama. Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia juga memberikan petunjuk tentang berbagai aspek kehidupan termasuk pembinaan dan pengembangan mental (rohani) yang sehat yang berfungsi sebagai berikut:
1.      Memelihara Fitrah
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrahnya bersih dari dosa dan noda, akan tetapi karena manusia memiliki hawa nafsu yang juga didasarkan oleh dorongan-dorongan luar maka manusia sering terjerumus melakukan perbuatan dosa. Agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya maka manusia harus beragama dan bertakwa kepada Allah S.W.T dengan elaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangam-Nya.
2.      Memelihara Jiwa
Agama sangat menghargai harkat dan martabat manusia. Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, maka agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan penganiayaan, penyikasaan atau pembunuhan.
3.      Memelihara Akal
Allah memberikan karunia kepada manusia berupa akal yaitu kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk dan mengembangkan iptek. Melalui kemampuannya inilah manusia dapat berkembang menjadi makhluk yang berbudaya. Pentingnya peran akal ini memberi petunjuk bagi manusia untuk selalu mensyukuri nikmat akal dengan mengoptimalkan kemampuan kita untuk berpikir dan menjauhi perbuatan yang dapat merusak akal kita.
4.      Memelihara Keturunan
Agama mengajarkan kepada kita tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci aturan itu disebut dengan pernikahan. Pernikahan merupakan acara yang sangat sakral dan wajib ditempuh bagi pasangan pria dan wanita sebelum melakukan hubungan biologis sebagai suami-isteri. Pernikhan bujan hanya bertujuan sebagai ibadah tetapi juga untuk membangun suatu keluarga yang baru yang nantinya akan melahirkan generasi-generasi selanjutnya.

Jadi keterkaitan antara kesehatan mental dengan religius (agama) tidak hanya dijadikan sebagai pedoman akan tetapi agama juga berperan sebagai terapi atau penyembuhan bagi gangguan kejiwaan. Karena pada dasarnya agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengatasi konflik, frustasi dan memberikan kedamaian bagi jiwa. Pengalaman agama bagi kehidupan sehari-hari dapat membentengi manusia dari gangguan jiwa atau penyakit kejiwaan yang bisa datang kapan saja sepanjang hidup manusia itu sendiri. Semakin dekat manusia dengan Tuhan dan semakin banyak ibdahnya, maka akan semakin tentram jiwanya serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Begitu juga sebaliknya semakin jauh manusia dengan Tuhan dan agama maka akan semakin susah baginya dalam mencari ketentraman di dunia maupun akhirat nantinya.
Daftar Pustaka
Yusuf LN, Syamsu. (2004). Mental Hygiene Pengembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan Agama. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Rahmayanti, Ani. (2014).”Kekerasan Psikis Pada Anak Usia Sekolah Dasar dan Impikasinya terhadap Kesehatan Mental”. Program Pascasarjana. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kekerasan Pada Anak

Rizka Andhani            17513892
Tugas Softskill
Fenomena Kekerasan pada Anak


Pengertian Agresi
Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Juga agresi adalah setiap bentuk keinginan (drive-motivation) yang diarahkan pada tujuan untuk menyakiti atau melukai seseorang.
Agresi adalah fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah perilaku dari jenis yang lebih khusus. Salah satu contoh dari tindakan agresi adalah kekerasan. Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO, (dalam Bagong. S, dkk, 2000) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Barker mendefinisikan child abuse merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Berikut ini saya akan membahas tentang kekerasan pada anak yang dilakukan orang tua dalam bentuk penyiksaan emosional.
Penyiksaan emosi
Kekerasan Emosional (emotional abuse) Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu. Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain. Jika hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya. Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik.
Fenomena kasus yang akan dibahas
Misalnya seorang anak yang kelahirannya tidak diharapkan oleh ibunya karena anak itu lahir tanpa seorang ayah alias hamil diluar nikah dan semasa kehamilannya si ibu berusaha untuk mengguggurkan kandungannya karena malu dan si ibu ini mengalami krisis ekonomi dan ternyata usahanya itu tidak berhasil.
Setelah lahir sampai tumbuh besar anak ini terus diabaikan dan mendapatkan penolakan dari ibunya seperti diusir dari rumah, dicemooh dan kurang diperhatikan sehingga mengakibatkan anak ini mengalami penyiksaan secara batin/emosi lalu menjadi anak yang liar dan bahkan mungkin bisa terjerumus dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Penyebab terjadinya fenomena diatas
1.Karena adanya penolakan.
2.Kurangnya perhatian orangtua.
3.Adanya ancaman dari orangtua.
4.Adanya pengisolasian oleh orangtua.
Analisa dari kasus diatas:
Teori Deprivasi
Teori Deprivasi (kekurangan), yaitu adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga orang yang bersangkutan merasa kekurangan. Dalam contoh kasus diatas menujukkan bahwa ibunya tidak mengharapkan anaknya lahir kedunia ditambah lagi kondisi ekonominya yang serba kekurangan.
Kaitan teori dengan kasus ini adalah jika seorang anak yang dari sejak lahir mengalami deprivasi baik itu secara emosional dalam tahap awal maka akan menjadikan anak tumbuh dengan rasa kecemasan, rasa tidak aman yang mengakibatkan perkembangan anak menjadi tehambat dan menyebabkan rasa percaya dirinya rendah karena anak merasa tidak dicintai, dikasihi dan tidak berharga sehingga efek penyiksaan emosi ini dapat berkelanjutan dan memungkinkan si anak ini setelah dia tumbuh dewasa perilakunya tidak dapat dikontrol seperti menjadi anak yang brutal, melakukan tindakan agresi kepada orang lain, pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang hingga berujung pada bunuh diri.
 Daftar Pustaka
Sarwono,Sarlito W dan Eko A. Meinarno. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. (1998). Theories Of Personality. Edisi ke 2. Diterjemahkan oleh: Smita Prahita Sjahputri. Jakarta: Salemba Humanika.
Suyanto, Bagong. (2010). Masalah Sosial Anak. Hal 29. Jakarta: Kencana.
Baron dan Robert A. (1994). Perilaku Agresi. Diterjemahkan oleh: Ratna Djuwita. Jakarta: Erlangga.